Showing posts with label Sejarah Percetakan. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Percetakan. Show all posts

Review Lengkap Mesin Cetak Offset Oliver 52 – Solusi Cetak Komersial Berkualitas dan Efisien


Mesin cetak Oliver 52 adalah salah satu mesin offset legendaris yang masih banyak digunakan di industri percetakan kecil hingga menengah. Meskipun tergolong mesin lawas, Oliver 52 tetap menjadi pilihan favorit karena kualitas cetaknya yang konsisten, daya tahan tinggi, serta harganya yang relatif terjangkau. Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara lengkap spesifikasi, kelebihan, kekurangan, dan keunggulan mesin cetak Oliver 52 dibanding mesin cetak lainnya.

Spesifikasi Umum Mesin Cetak Oliver 52

Mesin cetak ini diproduksi oleh Sakurai, produsen mesin cetak ternama asal Jepang. Oliver 52 termasuk dalam kategori mesin cetak offset sheet-fed berukuran sedang yang cocok untuk mencetak brosur, katalog, kemasan, dan dokumen bisnis berkualitas tinggi.

Nama Lengkap : Sakurai Oliver 52
Jenis Mesin : Offset printing (sheet-fed)
Ukuran Maksimum Kertas : 520 mm x 375 mm (sekitar ukuran folio)
Jumlah Warna : Umumnya 1 warna atau 2 warna (beberapa versi ada 4 warna)
Kecepatan Cetak : Sekitar 10.000 lembar per jam
Jenis Plat : Plat offset berbasis aluminium (kompatibel dengan CTP dan analog)
Sistem Tinta : Konvensional (beberapa model mendukung tinta berbasis UV)
Sistem Air : Dilengkapi dengan aliran air konvensional atau alkohol (dampening system)
Sistem Pengumpan : Sheet-fed (penyuplai kertas lembaran otomatis)


     Keunggulan Mesin Cetak Oliver 52

  1. Kualitas Cetak Tinggi
    Mesin ini mampu menghasilkan cetakan dengan resolusi tinggi dan stabil, cocok untuk pekerjaan cetak presisi seperti kemasan dan brosur berwarna.

  2. Ukuran Compact dan Fleksibel
    Dibanding mesin cetak besar seperti Heidelberg Speedmaster, Oliver 52 relatif lebih kecil dan hemat tempat, cocok untuk usaha percetakan menengah.

  3. Mudah Dioperasikan
    Panel kontrol mesin mudah dipahami, dengan setup yang relatif cepat bagi operator berpengalaman.

  4. Efisiensi Produksi
    Kapasitas cetak hingga 10.000 lembar per jam menjadikannya efisien untuk pekerjaan volume sedang hingga tinggi.

  5. Ketersediaan Suku Cadang dan Teknisi
    Karena cukup populer, suku cadang dan teknisi untuk Oliver 52 relatif mudah ditemukan, terutama di kawasan Asia.


     Kekurangan Mesin Cetak Oliver 52

Mesin ini memang handal, namun tetap ada kekurangan yang perlu diperhatikan sebelum membeli:
  1. Mesin Tua (Umumnya Produksi 1990-an)
    Banyak unit di pasaran merupakan unit bekas (second) yang sudah berusia 20–30 tahun, sehingga rawan perawatan dan harus dicek secara menyeluruh sebelum membeli.

  2. Tidak Mendukung Digital Workflow Secara Penuh
    Mesin ini tidak sepenuhnya kompatibel dengan sistem digital modern seperti CIP3/4 kecuali ditambah perangkat tambahan.

  3. Terbatas pada Ukuran Kertas Sedang
    Ukuran maksimum hanya 52 cm lebar (sekitar A2 kecil), sehingga tidak cocok untuk cetakan berukuran besar atau poster skala besar.

  4. Tidak Hemat Energi
    Konsumsi daya listrik relatif besar karena menggunakan motor lama dan sistem mekanik yang berat.


    Keunggulan Utama Oliver 52 Dibanding Kompetitor

Di antara banyak pilihan mesin cetak offset, Oliver 52 unggul dari segi harga, keawetan, dan kemudahan perawatan. Dibandingkan dengan Heidelberg GTO, Komori Sprint, atau Ryobi 512, mesin ini:
  • Harga Terjangkau
    Mesin ini banyak tersedia di pasar mesin bekas dengan harga yang jauh lebih murah dibanding mesin Heidelberg atau Komori baru.

  • Kinerja Stabil & Terbukti
    Banyak pelaku usaha cetak di Indonesia menyukai Oliver 52 karena performanya yang konsisten, mudah diservis, dan awet bila dirawat dengan baik.

  • Ideal untuk Entry-Level Offset
    Bagi usaha cetak kecil hingga menengah yang ingin beralih dari cetak digital ke offset, Oliver 52 menjadi pilihan entry-level yang sangat ideal.


Keunggulan Mesin Cetak Oliver 52 Dibanding Kompetitor

Di antara banyak pilihan mesin cetak offset, Oliver 52 unggul dari segi harga, keawetan, dan kemudahan perawatan. Dibandingkan dengan Heidelberg GTO, Komori Sprint, atau Ryobi 512, mesin ini:

  • Lebih terjangkau dan tersedia luas di pasar mesin bekas.

  • Mesin yang sudah terbukti tahan lama dan performa tetap stabil setelah bertahun-tahun digunakan.

  • Ideal untuk pemula di industri cetak offset yang ingin naik kelas dari printer digital ke cetak offset komersial.


Tips Membeli Mesin Cetak Oliver 52 Bekas

Jika Anda ingin membeli mesin ini, pastikan memperhatikan:

  • Cek kondisi silinder, blanket, dan roll tinta

  • Pastikan motor dan sistem air berfungsi baik

  • Tanyakan riwayat servis dan jam kerja mesin

  • Pilih penjual yang memberikan garansi dan uji cetak langsung


Mesin cetak Oliver 52 adalah pilihan tepat bagi percetakan yang ingin meningkatkan kapasitas produksi dengan hasil cetak profesional. Meskipun tergolong mesin lawas, Oliver 52 tetap relevan dan efisien digunakan di era sekarang — terutama dengan perawatan yang baik.

Dengan harga yang lebih bersahabat dibanding mesin cetak offset baru, Oliver 52 menawarkan nilai investasi yang solid untuk pelaku usaha percetakan skala kecil-menengah di Indonesia.

Jejak Sejarah Percetakan dari Gutenberg hingga Indonesia


Sejarah percetakan adalah bagian penting dalam perjalanan peradaban manusia. Sejak dahulu, manusia telah mencoba berbagai cara untuk menyebarkan informasi, mulai dari ukiran di batu, tulisan tangan di perkamen, hingga akhirnya ditemukan teknik cetak. Kemunculan teknologi ini menjadi tonggak besar dalam sejarah dunia karena memungkinkan penyebaran ilmu pengetahuan secara luas dan cepat.

Penemuan paling revolusioner dalam dunia percetakan klasik terjadi pada abad ke-15, ketika seorang tukang emas asal Jerman bernama Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak dengan sistem huruf lepas. Gutenberg menciptakan teknologi yang menggabungkan cetakan logam yang bisa dipindah-pindah (movable type), tinta berbasis minyak, dan mesin cetak bertekanan. Inovasi ini melahirkan produksi buku massal untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia.

Salah satu karya paling terkenal dari mesin cetak Gutenberg adalah Gutenberg Bible yang dicetak sekitar tahun 1455. Ini menjadi bukti awal dari kemampuan teknologi percetakan dalam menyebarkan dokumen penting ke berbagai kalangan. Sebelum teknologi ini hadir, satu buku bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk disalin secara manual. Setelah adanya mesin cetak, jumlah salinan buku meningkat pesat, dan akses terhadap pengetahuan menjadi lebih terbuka.

Setelah sukses di Eropa, perkembangan percetakan modern menyebar ke seluruh dunia. Di Asia, teknik cetak sebenarnya sudah dikenal lebih awal, terutama di Tiongkok dan Korea. Namun, sistem cetak di Asia lebih bersifat blok cetak (woodblock printing), bukan huruf lepas. Adaptasi mesin cetak gaya Gutenberg menjadi tonggak perubahan besar dalam produksi buku dan surat kabar di banyak negara.

Percetakan di Indonesia mulai berkembang pada abad ke-17 ketika penjajah Belanda membawa teknologi cetak ke Nusantara. Penerbitan pertama yang tercatat adalah kitab Injil dalam bahasa Melayu pada tahun 1629, yang dicetak di Batavia (sekarang Jakarta). Sejak saat itu, dunia percetakan Indonesia mulai berkembang pesat, terutama dengan kehadiran sekolah misi, surat kabar, dan penerbitan lokal.

Masuknya teknologi percetakan ke Indonesia membawa dampak besar terhadap penyebaran informasi dan pendidikan. Surat kabar pertama di Indonesia, Bataviaasch Nieuwsblad, mulai terbit pada abad ke-19. Tak lama kemudian, banyak terbitan lokal bermunculan dalam bahasa Belanda, Melayu, Jawa, hingga bahasa daerah lainnya. Dunia pergerakan nasional juga tak lepas dari peran besar percetakan dalam menyebarkan semangat kebangsaan dan pendidikan.

Di masa kemerdekaan, industri percetakan Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Percetakan tidak hanya digunakan untuk kebutuhan administratif dan buku pelajaran, tetapi juga menjadi alat penting dalam penyebaran media massa dan budaya populer. Berbagai perusahaan percetakan swasta dan milik negara bermunculan untuk memenuhi kebutuhan cetak nasional.

Kini, di era digital, percetakan klasik mengalami banyak transformasi. Meski teknologi digital mulai menggantikan beberapa fungsi cetak, namun keberadaan mesin cetak offset dan digital printing masih sangat penting. Buku, majalah, brosur, dan media cetak lainnya tetap memiliki tempat tersendiri di masyarakat, terutama dalam dunia pendidikan, seni, dan bisnis.

Mempelajari sejarah percetakan bukan sekadar menengok masa lalu, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat memengaruhi perkembangan budaya dan peradaban. Dari Gutenberg hingga ke pelosok Nusantara, jejak perjalanan percetakan telah menciptakan dampak besar bagi dunia pendidikan dan literasi.

Penyebaran Teknik Mencetak


Pada postingan yang lalu sedikitnya telah saya ulas mengenai sejarah teknis mencetak yang ditemukan oleh Johanes Gutenberg di Mainz, Jerman, yang merupakan awal penyebaran teknik mencetak ke benua Eropa setelah terjadi peperangan dikota yang ditempati Gutenberg.

Menurut beberapa sumber, teknik mencetak menyebar diawali sekitar tahun 1500 an. Ditahun tersebut terhitung lebih dari 1000 perusahaan percetakan mulai tersebar. Seni Cetak-mencetak menyebar secara luas ke seluruh Eropa. Bahkan diduga sekitar 40.000 buku dan karya cetak lainnya dikerjakan dimasa ini. Cetakan pertama dinamakan inkunabulas, karena keindahannya hasil cetakan tersebut menjadi barang berharga di museum-museum seluruh dunia. Beberapa jenis karya cetak menggunakan ragam huruf baru seperti pada masa Johanes Gutenberg yang menggunakan typografi (huruf) jenis Gotik dengan berbagai ukuran, tetapi di Eropa bagian selatan sejak tahun 1500 telah diukir dan dikembangkan ke jenis hurup Antiqua yang pertama. Beberapa perusahaan percetakan terkenal di Eropa seperti Calude Garamond di Perancis, John Baskerville di Inggris, dan Giambattista Bodoni di Itali masing masing telah menciptakan jenis-jenis huruf yang terkenal sekaligus menambah koleksi typografi pada masa itu.

Di jaman industrialisasi di Eropa sekitar abad ke 19 terjadi perubahan besar-besaran didunia teknik mencetak ini, beberapa perusahaan percetakan ketika itu menciptakan berbagai macam teknik baru bidang cetak-mencetak, seperti Friedrich König telah menciptakan mesin cetak berkecepatan tinggi (highspeed press) sekitar tahun 1828 dan pada tahun 1846 diciptakan mesin penyusun (composing machine). Nah, sejak saat itulah hampir tak terhitung lagi penyempurnaan-penyempurnaan pada peralatan cetak-mencetak.

Bagaimana Penyebaran teknik mencetak di Indonesia?
Untuk sekedar membuat teks dan rangkaian cerita pada waktu itu teknik cetak-mencetak dilakukan dengan cara mengukir pada batu atau dituliskan di atas daun lontar (papirus). Hal ini berbeda dengan perkembangan di negeri Eropa, karena belum masuknya pengetahuan cetak-mencetak maka hanya beberapa orang terpelajar saat itu mampu membaca dan menulis. Sekitar tahun 1596 para pedagang Belanda pertama mendarat di Jawa Barat. Koloni pedagang lainnya mengikuti ditahun 1602 membentuk 'Verenigde Oost Compagnie' alias VOC. Pada saat itulah diduga pengetahuan cetak-mencetak secara teknis dibawa ke Indonesia.

Mungkin diantara rekan-rekan yang ingin melengkapi mengenai sejarah cetak mencetak ini boleh share dengan saya, mudah-mudahan bisa saling melengkapi untuk menambah wawasan kita semua.

Sejarah Teknik Mencetak Gutenberg


Mencetak merupakan bagian dari pekerjaan membuat salinan dalam jumlah banyak atau lebih banyak dari acuan aslinya yang sama. Menurut beberapa sumber metode cetak-mencetak ditemukan Johanes Guntenberg, di Mainz, Jerman, pada tahun 1440. Penemuan ini sampai sekarang merupakan salah satu hasil karya terbesarnya dalam sejarah. Melalui barang-barang cetakan jiwa manusia terbuka bagi semua orang. Dengan bantuan cetakan pengetahuan dapat disimpan di atas kertas setiap saat, untuk kapan saja, dan dapat disampaikan kepada setiap orang dari semua generasi.

Di Asia, terutama di Cina dan Korea, cetak-mencetak sudah dikenal sekitar 1000 tahun lalu. Teks dan gambar diukirkan pada sekeping papan, tanah liat atau logam, kemudian acuan/stempel tersebut diberi tinta kemudian ditumpangkan selembar kertas (papirus) diatasnya yang kemudian ditekan sehingga tinta dari stempel tersebut pindah ke permukaan kertas.

Sementara di Eropa, percetakan tertua yang menggunakan metode tersebut dimulai sekitar 600 tahun yang lalu. Sebelum ditemukan teknik cetak, awalnya seluruh buku harus ditulis tangan yang biasanya dikerjakan oleh para biara-biara. Dengan demikian sebuah buku menjadi barang yang sangat berharga pada waktu itu dan hanya orang yang sungguh kaya lah dapat memilikinya, Sehingga aktifitas membaca dan menulis hanya terbatas pada segelintir orang berpendidikan.

Gagasan spektakuler Gutenberg
pada saat itu tentu sangat membantu dan memberikan kemudahan bagi dunia cetak-mencetak. Dengan menggunakan huruf-huruf tunggal yang diukirkan pada kayu sebagai acuan cetak sederhana pun diciptakannya, kemudian berkembang menjadi ukiran pada bahan logam yang merupakan kerja keras Johanes Gutenberg. Setiap huruf dan tanda awalnya harus diukirkan pada sebatang besi dengan posisi secara terbalik (mirror). Kemudian stempel besi ini menjadi alat penakik yang diketukkan pada selembar lempengan tembaga yang akan menjadi acuan/matres.

Gutenberg sadar bahwa penemuannya hanya akan berhasil kalau ia dapat mempertahankan mutu artistik hasil cetakannya. Hidup sehari-hari Gutenberg sebagai tukang emas sangat mengenal baik para seniman penulis dan pelukis buku. Dia harus berfikir ekstra untuk memecahkan masalah teknis pada cetakan agar dapat menciptakan buku dengan nilai artistik tinggi. Namun disisi lain kehidupan Gutenberg yang tidak banyak diketahui, ketika itu orang hanya mengenal dia sebagai orang yang selalu dalam kekurangan uang. Dengan meminjam uang ia memulai pekerjaan besarnya yang pertama yaitu mencetak alkitab, yang disebut alkitab 42 baris.

Pada tahun 1462 kota asalnya Gutenberg saat itu dihancurkan karena telah terjadi peperangan sehingga para pekerja cetaknya menyebar ke seluruh Eropa yang dengan demikian dapat membukakan rahasia cetak-mencetak yang sejak awal mula dijaganya dengan baik. Usai terjadi peperangan Gutendberg sendiri tinggal di Mainz dan memulai usaha percetakan kecil-kecilan kembali, namun tanpa suatu karya yang besar. Setelah kota asalnya dihancurkan karena peperangan, dan ditinggalkan para ‘operator mesin cetaknya’ akhirnya percetakan tersebut diambil alih oleh kawannya, Fust dan Schoffer yang kemudian meneruskan roda usaha percetakan dengan menggunakan huruf-huruf karya Gutenberg yang indah. Gutenberg tidak dapat mengembalikan hutang-hutangnya ditambah lagi kalah dalam perkara di pengadilan dan akhirnya menjadi orang miskin. Sungguh malang kehidupan Gutenberg sebagai penemu teknik mencetak, ia meninggal pada tanggal 3 Februari 1468 namun hingga saat ini ide cerdas Gutenberg masih dipakai sepanjang masa.